Pusat Buku-Buku Islami ala Ahli Sunnah wal Jama'ah


KH.achmad Siddiq
Khitthah Nahdliyyah

Hasil Penggalian Otentik atas Jatidiri NU

Dalam pejalanan NU selama 80 tahun, Khitthah 1926 yang merupakan landasan dasar pergerakan NU adakalanya mengalami sebuah masa ketika rumusan yang meneguhkan NU hanya merupakan organisasi sosial keagamaan murni (jamiyyah ijtimaiyyah diniyyah mahdhah) sedikit terlupakan. Sebab, dengan dinamisnya pergerakan NU, bukan tidak mungkin jika kemudian organisasi ini mengadakan sebuah langkah akomodatif dengan situasi dan kondisi agar lebih shalih li kulli zaman wa makan (relevan di setiap situasi dan kondisi).
Hingga kemudian, sejarah mencatat bahwa NU bermetamorfosis menjadi sebuah partai politik. Tak pelak, akibat persinggungan NU dengan dunia politik yang semakin kompleks, nada sumbang kian bergema akibat semakin terkurasnya perhatian NU ke wilayah politik daripada membuktikan diri sebagai ormas sosial keagamaan murni.
Inilah yang kemudian melatar belakangi beberapa kader menggali dan merumuskan kembali Khitthah NU yang sempat ter(di)abaikan. Secara historis, keputusan penguasa orde baru yang melebur partai-partai Islam (termasuk NU) dalam satu wadah bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan titik klimaks yang mencederai kiprah NU di panggung politik nasional.
Akibatnya, Partai NU yang sebelumnya mendapatkan suara signifikan dalam pemilu 1971 menjadi keok saat berfusi di dalam tubuh PPP. Hingga kemudian arus yang berkembang dalam tubuh PPP faksi NU mengalami sebuah kekecewaan akibat dominasi faksi MI (yang beranggotakan politisi PSII dan Parmusi.
Dari pengalaman yang membuktikan NU bukan lagi (menjadi) sebuah organisasi sosial religius inilah, kemudian. Almaghfurlah KH. Achmad Shiddiq menggali (meminjam bahasa Bung Karno) dan merumuskan kembali landasan pergerakan NU yang sempat tertimbun selama puluhan tahun. Wacana kembali ke Khitthah 1926 ini mencapai puncaknya saat berlangsung Muktamar NU ke-27 di Asembagus Situbondo. Namun, secara genetis, embrio gagasan kembali ke Khitthah 1926 ini sebenarnya lahir saat Muktamar ke-26 di Semarang yang dicetuskan oleh KH.Achmad Siddiq, meski saat itu belum menjadi acara pembahasan, apalagi keputusan. Lalu bagaimana sebenarnya hasil penggalian KH. Achmad Siddiq atas rumusan Khitthah 1926 tersebut?.

Dalam buku yang ditulis pada 1979 ini, (diterbitkan kembali oleh Penerbit Khalista setelah sempat “tertimbun” beberapa tahun), terungkap betapa luhurnya cita-cita yang diperjuangkan oleh founding fathers NU. Dalam risalah (demikianlah kiai asal Jember ini menyebut buku ini) yang sempat dibagikan dalam Muktamar ke 26 di Semarang ini, terdapat sebelas poin utama yang menjadi titik tekan NU dalam bergerak dan berorganisasi, diantaranya, ciri diniyyah, kedudukan ulama, Ahlussunnah wal jamaah, bahaya-bahaya bagi kemurnian ajaran Islam, sistem bermadzhab, karakter tawassuth wal I’tidal, pola berorganisasi, konsepsi da’wah, ma’arif dan mabarrot (sosial), ekonomi muamalah dan diakhiri dengan rumusan Izzul Islam wal Muslimin.
Dalam “Pencerminan dan Penjabaran Ciri Diniyyah” (sub bab Ciri Diniyyah), KH. Achmad Siddiq mengemukakan bahwa ciri diniyyah NU tercermin dalam beberapa hal seperti, didirikan atas motif dan asas serta cita-cita keagamaan, yaitu izzul Islam wal muslimin menuju rahmaan lil alamin, sehingga segala sikap, tingkah laku dan karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan serta diukur dengan norma hukum dan ajaran Islam. Lebih lanjut, KH. Achmad Siddiq menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama menitikberatkan aktivitasnya pada domain yang berinteraksi langsung dengan religiusitas, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, da’wah, maarif, serta muamalah (hal 15). Jadi dari pemaparan ini, dapat terbaca jika aktivitas di bidang lain dibatasi sekedar mendukung dan memenuhi persyaratan perjuangan keagamaannya.
Begitu pula saat KH. Achmad Siddiq mengulas tentang karakteristik urgen Nahdlatul Ulama, yaitu al-tawassuth wa al-I’tidal. Beliau lebih dulu menyitir Surat al-Baqarah ayat 143 sebagai penopang karakter at-Tawassuth, serta Surat al-Maidah ayat 9 yang menjadi tiang pancang sikap I’tidal, yang kemudian disertai dengan kutipan Surat al-Hadid ayat 25 sebagai dasar atas sikap at-Tawazun Nahdlatul Ulama.
Selanjutnya beliau pun mengulas bahwa sikap at-Tawassuth (termasuk al-I’tidal dan at-Tawazun) bukanlah sikap serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan berarti mengucilkan diri dari menolak persinggungan dengan semua unsur (hal 62). Bagi KH. Achmad Siddiq, prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam harus diterapkan di segala bidang, supaya agama Islam


Read More......

Respon Atas Problematika Umat


Respon Atas Problematika Umat
Fikih Keseharian Gusmus

Penulis : KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gusmus)

Selama ini berita yang masih aktual, dan masih menjadi sorotan media massa adalah peristiwa tentang perselisihan dan perdebatan dalam pemikiran masalah-masalah keagamaan atau fiqh, yang dalam istilah NU disebut forum “Bahtsul Masail”. Bahtsul masail ini merupakan salah satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat. KH Sahal Mahfudz, Pengurus Syuriyah PBNU menyebutnya bahwa forum “Bahtsul Masail” merupakan forum yang dinamis dan demokratis, selalu mengikuti perkembangan, dan trend hukum yang terjadi di masyarakat.
Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini? K.H.A. Musthofa Bisri yang panggilan akrabnya Gus Mus sudah tidak asing lagi bagi semua kalangan, ia adalah seorang kiai, pelukis, penyair, dan budayawan yang karya-karyanya selalu melambung di media massa baik lokal maupun nasional. Setelah pasca Buya Hamkah, Ali Hasjmi, dan Bahrum Rangkuti, umat Islam Indonesia sangat miskin melahirkan ulama yang dikatakan seniman dan sastrawan. Mungkin tidak banyak yang tahu, jika Gus Mus disamping sebagai sastrawan juga seorang pelukis.
Meskipun sebagai budayawan, penyair, dan pengasuh pondok pesantren, namun pemikiran dan gagasan-gagasan yang diusungnya mampu menandingi, bahkan melebihi wacana-wacana yang diusung oleh para ilmuwan, dan cendikiawan. Jadi tidak semua masyarakat pesantren hanya dianggap sebagai kaum sarungan yang pemikiran dan gagasannya hanya terpaku pada teks klasik saja, melainkan mampu menyesuaikan dengan realitas sosial yang terjadi saat ini.
Dan pada ahir-ahir ini masyarakat pesantren selalu eksis dimana-mana, dan mulai banyak mengaktualisasikan pemikiran, dan gagasannya yang dapat memasung daya kritis seorang santri, sehingga masyarakat pesantren bisa dikatakan seorang yang produktif, dan kritis.
Rois Syuria Nahdhatul Ulama (PB.NU) ini, tidaklah membuat beliau menjadi orang yang rakus terhadap kekuasaan dan memanfaatkan jabatannya. Namun beliau adalah orang yang bisa menjaga jarak dari hal-hal yang sifatnya politis, dan pragmatis. Seperti yang disampaikan dalam tausiyahnya dalam munas alim ulama di Sokolilo kemarin, bahwa persoalan politik di Indonesia sangatlah pelik, dan berengsek sekali, tidak didasari dengan etika-etika politik yang ada.
Kiprah Gus Mus di panggung politik bermula mendapat tawaran dalam bursa pencalonan sebagai anggota legislatif PPP preode 1977-1982 mewakili wilayah Rembang-Blora. Namun meskipun ia mendapat sebuah tawaran yang menggiurkan dan menjanjikan Gus Mus menolaknya. Karena ia merasa belum berpenglaman dan juga belum mempunyai andil di partai.
Buku setebal 525 halaman ini, memang benar-benar hasil garapan kreatif seorang kiai dan budayawan, yang didalamnya mengulas tentang berbagai problematika kekinian, dengan tanpa meninggalkan keotentikan dan nilai historisitas teks klasik (kitab kuning).
Adapun pemikiran-pemikiran yang ia usung selama ini, memang benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan, dan memperluas ilmunya untuk mengabdi pada masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa mengerti, dan paham terhadap hukum fiqh pada umumnya.
Dengan ketajaman analisis inilah, Gus Mus tidak hanya mampu menawarkan jawaban-jawaban dari bermacam problem yang datang padanya secara normatif. Melainkan ia berhasil memberikan kerangka nuansa pemikiran untuk mengatasi masalah-masalah keagamaan keseharian kita secara rinci dan terurai secara rapi.
Dan perlu dicatat, bahwa penjelasan atau jawaban-jawaban yang ia berikan semata-mata penjelasan apa adanya yang dirangkai dengan dalil-dalilnya. Sehingga jawaban-jawaban beliau tidak begitu saja mengatakan ini haram dan itu halal, ini wajib dan itu sunnah.
Selain itu juga, dalam bab akhir Gus Mus dengan sangat gamblang memaparkan berbagai persoalan-persoalan budaya kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Seperti dalam bab VIII halaman 520, ada seorang penanya mengutarakan kegundahan dalam kehidupan sehari-harinya yaitu, berkenaan dengan maraknya gambar-gambar panas (porno), dan melakukan onani.
Di saat memberikan jawaban atas pertanyaan ini, Gus Mus menentukan haram tidaknya melihat gambar porno dan melakukan onani, yaitu mengikuti pendapat para ulama. Karena pendapat para ulama sudah sepakat, melihat gambar-gambar panas (porno), dan melakukakan onani hukumnya haram. Karena manfaat dan mudharatnya yang jelas lebih banyak madaratnya. Dan perbuatan tersebut, telah dilarang oleh agama, dan dapat merusak moral para generasi muda pada umumnya. Perbuatan yang dilarang oleh agama


Read More......

Penuntun Qolbu ; Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual


Penuntun Qolbu ; Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual
Qolbu, Sentra Kehidupan Manusia
22/11/2006
Penulis : KH. Muhyiddin Abdusshomad,
Pengantar : Prof. KH. Ali Yafie, Cetakan : I, Desember 2005
Tebal : XVI + 199 halaman,

Manusia, barangkali sosok makhluk paling unik dan misterius. Pada saat tertentu, Ia tampil (mau) menampakkan sebagai sesosok malaikat. Sosok makhluk suci. Seolah tiada dosa sedikitpun membekas dan (dibiarkan) menyelinap dalam dirinya. Tetapi tidak jarang, manusia seringkali menjelma layak iblis-setan. eksistensi, visi dan misi serta perilaku manusia lebih dari iblis-setan itu sendiri. Pendek kata, dalam diri manusia tersimpan dua potensi, baik dan buruk.
Dalam pandangan Islam, seluruh sepak terjang tingkah laku Manusia bermuara dari satu titik, Qolbu (hati). Dari titik sentral inilah, segala kebaikan mengalir. Tempat awal mula kejelekan bermula. Titik ini akan memberikan implikasi dampak positif dan negatif cukup besar bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
Qolbu memiliki arti dan peranan sentral cukup penting dalam menentukan arah kehidupan manusia. Logika ini barangkali, sehingga dalam strategi dakwahnya, Aa Gym memberikan perhatian utama atas persoalan Qolbu ini dengan desain format “ Management Qolbu (MQ)” nya. KH. Muhyiddin Abdusshomad kurang lebih juga menaruh perhatian yang sama yang dikemas dengan nama “ Penuntun Qolbu”.
Buku berjudul “ Penuntun Qolbu, Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual “ yang ditulis, KH. Muhyiddin Abdusshomad ini membeberkan potensi qolbu. Ketua Tanfidziyah NU. Jember ini, dalam buku ini, berupaya menguak kemungkinan penyakit yang sering mengendap dan bersarang dalam qolbu manusia. Dengan kemampuan yang dimilikinya, kemudian beliau menyuguhkan terapi penyembuhan yang paling efektif dengan mengais-ngais mutiara hikmah yang berserakan dalam kantong-kantong kitab kuning.
Imam al-Ghazali, penyakit Qolbu bermuara pada tiga hal, hasud (iri), riya’ dan ‘ujub atau takabbur (h. 66). Ketiga penyakit ini merupakan induk dari semua penyakit qolbu lainnya. Jika kita cermati ketiga jenis penyakit kronis in, bahkan penyakit-penyakit qolbu lainnya serta kerusakan yang ditimbulkannya sejatinya berpangkal dari ‘Virus’ cinta dunia (Hubb al-Dunya) yang berlebihan.
Akibat terlalu cinta dunia, rasa iri terhadap nikmat yang dimiliki orang lain akan mulai menyelinap dalam qolbu-nya. lalu muncul sifat sombong karena telah merasa memiliki segalanya, kemudian bersemi keinginan untuk memamerkan apa yang telah diperolehnya. Dari sini kemudian tumbuh sikap menghalalkan segala cara asal tujuan dapat tercapai. Yang penting hasil. Tak peduli bagaimana proses yang dilaluinya.
Sebagaimana penyakit jasmani, penyakit Qolbu juga terdapat terapi pengobatannya. Ia senantiasa hinggap dan menghilang dari qolbu manusia sesuai kondisi dan kemauan manusia itu sendiri untuk menyembuhkannya. Setiap kali penyakit itu menimpa dan muncul segera sedini mungkin dihindari dan diupayakan obat penawarnya sebelum berkarat dan mendarah daging sehingga sulit untuk dibasmi. Sebab, penyakit qolbu yang menimpa diri seseorang, dapat berimplikasi negatif bagi kehidupannya.
Ada beberapa terapi penawar agar Qolbu senantiasa jernih dan bersih serta terhindar dari endapan penyakit. Tidak menjadi sarang penyakit. Dalam buku ini dijelaskan ada lima terapi. Tetapi jika diperas diambil saripatinya, maka hanya akan menjadi 2 point saja, yaitu Dzikrullah dan Tadabbur. (h. 86-88). Qolbu yang selalu berdzikir kepada Allah Swt, akan timbul kesejukan jiwa, sehingga seseorang akan menjadi lapang dalam menghadapi segala pernik-pernik problematika kehidupan. Buahnya yang dapat dipetik, ia tidak akan silau atas kenikmatan yang dimiliki orang lain. Begitu juga ia tidak akan sombong dengan kelebihan yang dimilikinya.
Ikhtiar penyembuhan penyakit qolbu yang kedua adalah dengan melakukan tadabbur. Tadabbur adalah merenungkan hakikat kehidupan manusia di dunia serta memikirkan tentang apa yang sedang menimpa dirinya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang lemah. Kalau kita renungkan semua hal yang ada di dunia ini esensinya milik Allah. Dia-lah juga yang mengaturnya dengan penuh bijaksana. Jadi, sifat iri sama sekali tidak ada mamfaatnya. Itu hanya perbuatan sia-sia.
Renungkan!. tidakkah kita malu. Apa yang harus kita pamerkan (riya’) dan buat apa iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Sebab, itu semua sejatinya milik Allah. Kita hanya diberi amanah buat sementara waktu. Apa yang dapat kita banggakan dan sombongkan, toh semua yang kita miliki akan musnah seiring perjalanan waktu. Itu semua akan diambil kembali oleh Sang pemiliknya.



Read More......

Refleksi Utuh Sesepuh dan Sejarawan NU


Refleksi Utuh Sesepuh dan Sejarawan NU

Judul Buku : NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 tahun ikut NU)
Penulis : KH. Abdul Muchith Muzadi
Penerbit : Khalista Surabaya
Edisi : 2006
Tebal : 173 + x halaman

DALAM satu kesempatan (yang dinukil kembali dalam salah satu halaman buku ini), KH. Abdul Muchith Muzadi melontarkan parikena yang cukup mengundang senyum namun juga telak menyindir warga NU: “Justru karena besarnya jumlah anggota pengikut, maka NU tidak dapat bergerak maju dengan cepat.”

Itulah sekilas ungkapan khas Kiai Muchith dalam menyampaikan kritikannya, melalui humor cerdas namun telak menyindir obyek kritikan. Begitu pula saat Kiai sepuh ini menyampaikan gagasan-gagasannya, adakalanya dilontarkan dengan gaya parikena, melalui kiasan, maupun secara reflektif-konstruktif, baik melalui lisan maupun tulisan.

Model penyampaian ide Kiai Muchit seperti amsal di atas, dapat ditemui dalam buku “NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran; (refleksi 65 tahun Ikut NU)”, yang merefleksikan pengalaman kiai Muchith selama 65 tahun mengabdi NU. Salah seorang Mustasyar PBNU ini cukup sistemastis dalam mengolah dan menyajikan beberapa pokok pemikirannya.

Kakak kandung Ketua Umum PBNU ini membagi rangkaian tulisannya ke dalam dua bab; Memahami NU Lebih Utuh serta Sinergi Ajaran dan Pemahaman Agama. Sebagai “Sejarawan NU”, Mbah Muchith tampak begitu mahir dalam mengolah benak pembaca menerobos ruang dan waktu sejarah yang memayungi NU. Adapun sebagai “Sesepuh NU”, Mbah Muchith begitu semangat mengupas jatidiri dan esensi NU. Inilah yang menyebabkan buku ini layak dilahap dengan pikiran cerdas dalam memahami jeroan NU.

Selama 65 tahun bergabung NU, kiai asal Jember ini mengalami pahit-manisnya bersama NU sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, Revolusi fisik, Orde Baru hingga Reformasi. Sebuah pengalaman berharga yang banyak mempengaruhi pemikiran kiai kelahiran Tuban ini saat mengemukakan gagasannya. Sebagai salah satu tokoh NU yang dituakan, beliau terlihat cukup rancak dan luwes “menjaga gawang NU”, baik saat digoyang maupun saat NU dalam posisi mapan.

Pendidikan dan pengalaman berorganisasi kaum nahdliyyin masih sangat minim. Sebagai ormas terbesar di Indonesia alangkah eman-nya jika NU tidak mampu mempengaruhi corak dan arah pendidikan Indonesia. Organisasi yang secara kuantitatif menjadi mayoritas, namun belum mampu menjadi kekuatan dominan, secara kualitatif. Begitulah salah satu kritiknya.

Kritik yang dilontarkan Kiai Muchith, tentunya merupakan salah satu wujud kecintaan beliau pada NU. Sebab, sebagai ormas yang memiliki basis massa kuat, NU seharusnya malu jika kuantitasnya tidak diiringi dengan kualitas yang bagus. Atau saat Kiai Muchith mencermati proses kaderisasi di NU, beliau cukup prihatin. Mengapa sebagai ormas yang sudah menapak usia 80 tahun, NU masih amburadul, dari segi administrasi-organisasi. Lebih lanjut, beliau menyebut bahwa kebiasaan ber-paguyuban di kalangan pengurus NU, tidak berorganisasi secara tertib, disiplin dan profesional merupakan beberapa faktor penghambat keprofesionalan jamiyyah NU. Hingga kemudian kebiasaan ini mendarah daging di kalangan NU, salah satu sebabnya adalah “warga yang diurus” terlalu banyak, namun yang “mengurusi” terlalu minim.

Sebagai sesepuh, Kiai Muchith cukup apresiatif saat mengemukakan ide bahwa NU jam’iyyah (organisasi) dan NU jamaah (warga nahdliyyin) haruslah terjadi proses interaksi yang cukup berimbang. Sebab, keduanya adalah kekuatan riil NU. NU jam’iyyah tanpa NU jamaah adalah impossible. Namun, jamaah NU tanpa jamiyyah NU akan menjadi golongan manusia yang dapat diombang-ambingkan kelompok lain. Bagaimana kemudian mengatur dan mengawinkan kedua wajah NU tersebut, tentu membutuhkan semangat, tekad dan kerja keras dari seluruh warga NU.

Saat membahas butir khittah 1926, Kiai Muchith menyentil kelahiran PKB, yang kemudian memunculkan interpretasi baru atas khittah, terutama terkait dengan butir 8 alinea 6 naskah Khittah NU, yaitu “NU sebagai jamiyyah, secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan yang manapun juga.” Nah, inilah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran dan pro-kontra dari kalangan nahdliyyin sendiri. Apakah NU harus terseret ke politik praktis lagi? Bagaimana kedudukan PKB di tubuh NU? Apakah malah tidak merugikan gerak NU sendiri? Apakah tidak “menghianati” khittah 1926 itu sendiri? Semua jawaban dirangkai dengan bahasa cukup arif dan sederhana oleh Kiai Muchith dalam buku ini.


Read More......

Memahami Aswaja ala NU


Memahami Aswaja ala NU

Judul: Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama
Penulis: Masyhudi Muchtar
Pengantar: Dr KH Ali Maschan Moesa, M.Si
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Maret 2007
Tebal: vii+56 hal

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai jam'iyah diniyah al-ijtima'iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan). Jamiyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya, yang di dalamnya memiliki konsep dan ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja).
Seperti telah kita ketahui dan ditelusuri secara historis, Aswaja versi NU, pertama kali didirikan oleh kelompok “Taswirul al-Afkar" (potret pemikiran) yang salah satu tokohnya KH Wahab Hasbullah. Dalam "Qonun Asasi" NU telah dijelaskan bahwa, KH Hasyim Asy'ari tidak menjelaskan secara eksplisit definisi Aswaja sebagaimana yang dipahami oleh nahdliyin (sebutan untuk warga NU) saat ini.
Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja, yaitu, paham yang menganut pola madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Selain itu, Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Al-Asy'ari dan Al-Maturidi dalam bidang akidah. Dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Sementara, menurut KH Dawam Anwar, memahami Aswaja sebagai Islam itu sendiri, sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa Aswaja itu tidak akomodatif, berarti sama dengan menuduh Islam tidak akomodatif (tidak sesuai dengan perkembangan zaman).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Aswaja dicoba diteliti dan ditinjau ulang oleh beberapa ulama seperti KH Said Aqil Siradj yang menginginkan definisi Aswaja sedikit didekontruksi pada aspek-aspek tertentu. Dengan tujuan agar Aswaja yang eksklusif dapat menjadi inklusif.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah warga nahdliyin mampu memahami secara mendalam apa itu Aswaja? Dan bagaimana cara mengaplikasikannya dalam tataran akademis-keilmuan? Dan apakah mempunyai implikasi yang cukup signifikan pada cara berpikir ulama dan intelektual warga NU?
Dalam buku kecil, praktis, dan sederhana ini, pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab. Mulai dari masalah-masalah bagaimana warga NU dalam melakukan amal ibadah ubudiyah (secara vertikal kepada Allah) dan ibadah muamalah (secara horisontal dalam hubungannya antarsesama warga nahdliyin). Semuanya disajikan dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan mudah dipahami khususnya masyarakat awam.
Buku "Aswaja An-Nahdliyah" ini, sengaja dijelaskan dalam bab-perbab. Bab pertama Mukaddimah. Bab kedua, mengulas sumber ajaran An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi madzhab qauli, madzhab manhaji, dan pengembangan asas ijtihad madzhabi. Bab ketiga, menerangkan akidah Aswaja An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi konsep Akidah Asy'ariyah, konsep Akidah Maturidiyah. Bab keempat, mengulas Syariat Aswaja An-Nahdliyah yang meliputi, kenapa harus Empat Mazdhab. Bab kelima, mengulas masalah Tasawuf Aswaja An-Nadliyah. Bab keenam, menerangkan tradisi dan budaya yang di dalamnya meliputi landasan dasar tradisi, dan sikap terhadap tradisi.
Sedangkan bab ketujuh, kemasyarakatan yang di dalamnya meliputi Mabadi' Khaira Ummah dan Maslahatul Ummah. Mabadi' Khairah Ummah ini, juga meliputi Al-Shidqu, Al-Amanah wa al-Wafa bi al-Ahdi, Al-Adalah, Al-Ta'awun dan Al-Istiqamah. Maslahatul Ummah, meliputi penguatan ekonomi, pendidikan dan pelayanan sosial. Bab kedelapan, menerangkan kebangsaan dan bab terakhir penutup (khatimah).
Adapun salah satu konsep dari pemahaman Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (hal. 51-52).
Dari empat konsep Aswaja di atas, ada pokok yang paling ditekankan bagaimana konsep Aswaja bisa diaplikasikan dengan baik oleh warga NU. Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasut), setidaknya harus memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu bil jadidi al-ashlah", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, "al-adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Buku ini penting dan menarik untuk dimiliki, dibaca, oleh warga NU supaya paham dan mengerti secara mendalam apa itu Aswaja. Aswaja tidak hanya dipahami sekilas saja, tapi bagaimana warga nahdliyin mampu mengaplikasinnya dengan baik dan sempurna.


Read More......

Ensiklopedi Praktis Warga NU


Ensiklopedi Praktis Warga NU
Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah

Penulis: H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos,
Pengantar: K.H. Abdul Muchith Muzadi,
Penerbit: Khalista, Surabaya, Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: xviii + 322 halaman,

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU. Diantara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem brmadzhab.
Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Sebagai organisasi keagamaan, NU telah melewati pergulatan sejarah yang cukup panjang. Setidaknya, NU telah melewati beberapa masa atau era yaitu era pra kemerdekaan, orde lama (pasca kemerdekaan), orde baru, dan reformasi. Dalam setiap perjalanan panjang ini, tentu saja NU mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup besar. Buku "Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah" ini mencoba memberikan potret cukup jelas dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.
Pada awal berdirinya, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah " murni (independen). Ia bukan organisasi politik, bahkan tidak berafiliasi sama sekali terhadap partai politik tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya, NU pernah bergabung dengan partai politik tertentu, bahkan pernah menjadi partai politik sendiri.
Pada tahun-tahun awal berdirinya, yaitu tahun 1926- 1942, perjuangan NU dititik-beratkan pada penguatan doktrin Ahlussunnah waljamah (Aswaja) dalam rangka menghadapi serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program konkretnya, selain melakukan penguatan persatuan di antara para kiai dan pengasuh pesantren adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran Aswaja.
Pada Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NU dideklarasikan sebagai partai politik sendiri, setelah sebelumnya cukup lama bergabung dengan Masyumi. Pada pemilu pertama 1955, Partai NU muncul sebagai kekuatan yang cukup besar dengan menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada masa-masa ini yaitu ketika masih menjadi partai politik, banyak tokoh NU yang menempati posisi strategis dalam lembaga pemerintahan dan lembaga legislatif, serta banyak juga yang diangkat sebagai Duta Besar RI di luar Negeri (hal. 18-20).
NU terus menapaki lorong-lorong terjal sejarah. Pada masa berikutnya yaitu sejak tahun 1973 Partai NU tidak diakui lagi, dan dipaksa harus melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Masa ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada masa peleburan partai ini, tokoh-tokoh NU (sengaja) dipinggirkan dari kancah perpolitikan nasional dan pemerintahan oleh rezim otoriter Orde baru. Bahkan banyak tokoh NU yang dijebloskan ke dalam penjara dengan aneka macam tuduhan.
Pada dasawarsa 1980-an terjadi perubahan mengejutkan di tubuh NU. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, NU kembali ke khitthah 1926. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali ke jati dirinya semula sebagai organisasi keagamaan (jam'iyah diniyah).
Pada masa ini, NU mulai lebih mengurusi pendidikan dan lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Kegiatan-kegiatan pengajian kembali digalakkan, bahkan mulai masuk ke unit-unit pemerintahan. Satu persatu cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali (hal. 21).
Sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam NU terdapat banyak istilah baik yang terkait dengan kelengkapan organisasi maupun nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini dijelaskan ada 57 istilah. Istilah-istilah tersebut disebutkan secara alpabet.
Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliah yang tidak terdapat, bahkan tidak dikenal di luar organisasi NU. Bahkan ada yang dianggap sebagai amaliah bid'ah. Sekadar disebutkan misalnya, di antaranya, barzanji, tahlil, tawassul, dan ziarah kubur. Seperti nama-nama istilah dalam NU tersebut, beberapa budaya dan amaliah warga NU ini juga dipaparkan secara alpabet dari A sampai Z.
Pada bab terakhir, yaitu bab IV pembaca juga disuguhi kisah singkat para tokoh atau kiai NU. Namun dalam buku ini hanya 49 tokoh yang disebutkan. Mereka memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal langkah perjalanan panjang NU. Namun demikian, selain tokoh-tokoh tersebut sejatinya juga masih banyak NU yang tak kalah pentingnya. Dari kisah singkat para tokoh ini, setidaknya kita, terutama warga NU dapat mengambil pelajaran penting (uswah) dari pernik-pernik kehidupan dan pengabdian mereka. Sebab, kontribusi mereka terhadap bangsa khusunya NU sangat besar.
Menariknya, dalam buku ini juga dilengkapi beberapa gambar peristiwa, kegiatan NU, dan foto-foto para tokoh NU tersebut. Sehingga, selain penampilan buku ini semakin menarik, yang terpenting, pembaca bukan hanya tahu namanya saja melainkan juga dapat mengetahui wajah para tokoh yang dipaparkan dalam buku ini. Akhirnya selamat membaca. !!!.




Read More......

Konsep Kiai Sahal dalam Membaca Realitas Sosial


Konsep Kiai Sahal dalam Membaca Realitas Sosial

Judul Buku: Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh; Antara Konsep dan Implementasi
Penulis: Jamal Ma’mur Asmani
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: I, Desember 2007
Tebal: xxxiii + 373 halaman

Fikih sosial Kiai Sahal merupakan konsep aktif-progresif dan selalu mengacu pada lima prinsip pokok; pertama, interpretasi teks-teks fikih secara konstektual. Kedua, perubahan pola ber-mazhab dari qauly (tekstual) ke manhaji (metodologis). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’). Keempat, fikih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya.

Sehingga fikih bersenyawa langsung dengan ’af’al al-mukallifin sikap perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah (interaksi sosial ekonomi). Buku ini hadir untuk merekam perjalanan KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati, dan Direktur Madrasah Mathaliul Falah Kajen, Pati, Jawa Tengah), baik perjalanan hidupnya, intelektualnya, kunci sukses atau tips-tips khusus kesuksesannya belajar di pesantren, perjuangan kemasyarakatannya, karir akademisnya, hingga gaya kepemimpinannya dan pergulatannya dalam melahirkan dan mengembangkan fikih sosial yang spektakuler.

Sosok Kiai Sahal yang dekat dengan masyarakat sekitar Kajen, begitu terbuka dan membantu masyarakat dalam memecahkan masalah kehidupan yang akhir-akhir ini sulit dipecahkan. Terbukti, selain figur Kiai Sahal adalah seorang ulama tersohor, ia juga pemimpin, ekonom, pendobrak kebekuan (pemecah masalah), dan sebagai ulama tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan agamanya, khususnya penguasaan ’kitab kuning’ atau al-Turast al-Islami, mulai dari Bahasa Arab dan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, balaghah, manthiq, arudh, fiqh, ushul fiqh, qawaid fiqh, tauhid, tasawuf, dan lain-lain.

Kiai Sahal juga intensif dan ekstensif mengembangkan paradigma berpikir rasional-filosofis dengan optimalisasi fungsi Ushul Fiqh. Salah satu kitab yang dikarang Kiai Sahal adalah Thariqatul Husul ’ala Ghayah al-Wushul (Hasyiyah kitab Lubbul Ushul karangan Imam Zakariyya al-Anshari). Dan, al-Bayan al-Mulamma ’an Alfazh al-Luma (Syarah kitab Luma karangan al-Syaerozi). Selain peran ulama, ia seorang ekonom dan teruji keberhasilannya, sehingga berdirilah Bank Perkreditan Rakyat Artha Huda Abadi tidak lepas dari sentuhan Kiai Sahal. Konsep dan implementasinya di lapangan dalam bidang ekonomi membawa kemajuan setahap demi setahap perkembangan dan kemajuan dunia ekonomi. Kiai Sahal selalu mendorong agar para kiai dapat hidup mandiri dalam ekonominya, tidak bergantung pada pihak luar, apakah para pengusaha, politisi maupun pemerintah, baik dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya atau pembangunan pondok pesantrennya.

Kepedulian, perhatian, dan partisipasi aktif Kiai Sahal dalam lapangan ekonomi kerakyatan tidak lepas dari bakat inhernnya, yaitu fikih. Kiai Sahal ingin membuktikan ahwa fikih tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah (relasi vertikal), namun juga mampu mengeluarkan manusia dari jeratan kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan.

Menurut KH Muadz Thohir, Kiai Sahal sering menjadi bahan rujukan para masayekh, dalam konteks ini, ia memberikan saran kepada para kiai untuk mampu membaca situasi aktual dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Ia sadar bahwa kemajuan zaman dan perkembangannya tidak mungkin dibendung, agar para kiai tidak kaget dengan perubahan dan perkembangan zaman, baik budaya, teknologi, dan lainnya, para kiai harus siap menjawab tantangan zaman.

Pergulatan panjang Kiai Sahal dalam lapangan fikh sosial, ternyata membawa perubahan besar dan dahsyat dalam lapangan pemikiran pesantren dan akademis (perguruan tinggi), ekonomi kerakyatan, kebudayaan, kelembagaan (pesantren dan NU), dan politik kebangsaan. Kiai Sahal mendapat gelar kehormatan, Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, karena sumbangsih besarnya dalam mendinamisasi pemikiran fikih pesantren dari normatif ke analitis-konstektual, dari tekstual ke rasional filosofis.

Gagasan-gagasan Kiai Sahal dalam dunia pesantren dan eksistensinya membawa ide-ide segar sebagaimana mencetak santri-santri berkualitas. Memahami pemikiran progresif fikh sosial Kiai Sahal mendorong santri dan gus-gus muda pesantren belajar secara mendalam ilmu Ushul Fiqh dan mengembangkannya untuk merespon tantangan modernisasi sekarang ini. Sehingga dunia pesantren melahirkan pemikir-pemikir muda pesantren dan NU yang progresif, transformatif, dan inovatif dan berani keluar dari mainstream pemikiran NU, tapi tetap dalam koridor Ahlussunnah wal Jamaah.


Read More......

Pelecehan terhadap Amaliah Warga NU


Pelecehan terhadap Amaliah Warga NU

Judul Buku: Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik (H. Mahrus Ali)
Penulis: Tim Bahtsul Masail PCNU Jember
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xi+ 254 halaman

Buku yang berjudul "Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir" ini, merupakan jawaban dari buku yang ditulis H Mahrus Ali yang berjudul, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik". Tulisan Mahrus, ternyata mempunyai banyak kejanggalan dan kebohongan, bahkan meresahkan kaum muslimin, khususnya bagi warga Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Tim Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang NU Jember merasa bertanggung jawab untuk meluruskan adanya kejanggalan dan kebohongan buku tersebut.

Dalam bukunya, Mahrus mengatakan bahwa tawassul dan istighosah termasuk perbuatan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah), syirik (menyekutukan Tuhan). Bahkan, ia mengkafirkan. Dan, ibadah-ibadah lainnya, seperti, membaca sholawat pada Nabi dan membaca zikir setelah salat lima waktu termasuk perbuatan bid'ah. Padahal, bacaan-bacaan itu telah menjadi tradisi khususnya di kalangan Nahdliyyin. Pertanyaannya, apakah Mahrus sudah menemukan dalil yang kuat dalam Al-Quran dan Al-Hadist, bahwa ber-tawassul, istighosah, membaca sholawat pada Nabi, dan membaca zikir termasuk perbuatan bid'ah, kufur, syirik, dan menyesatkan?

Karena itu, dalam buku ini, dijelaskan, ber-tawassul dan ber-istighosah, hukumnya adalah boleh, baik ketika seorang nabi atau wali itu masih hidup atau sudah meninggal. Namun, hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat secara hakiki, kecuali Allah. Sedangkan, para nabi dan wali hanyalah sebagai sebab atas dikabulkannya doa dan permohonan seseorang.

Adapun kebolehan ber-tawassul dan ber-istighosah kepada para nabi dan para wali, baik ketika mereka masih hidup maupun yang telah meninggal, hukumnya sudah disepakati seluruh ulama salaf yang saleh sejak generasi Sahabat sampai generasi para ulama terkemuka pada abad pertengahan. Ada 12 ulama besar terkemuka, yang semuanya sepakat membolehkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Di antaranya, Al- Imam Sufyan bin Uyainah (Guru Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal), Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Ali al-Khallal, Al-Hafizh Ibn Khuzaimah, tiga hafizh (al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri'), Ibrahim al-Harbi, Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, dan Abu al-Khair al-Aqqtha'.

Tidak hanya ulama di atas yang membolehkannya. Al-Quran yang merupakan sumber primer pengambilan hukum Islam justru menganjurkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 35, yang artinya, "Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya". (QS. Al-Maidah:35). Jadi, dapat kita simpulkan bahwa ber-tawassul dan ber-istighosah dengan para Nabi dan para wali yang sudah meninggal tidak bertentangan dengan ajaran yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

Adapun penolakan Mahrus, dalam bukunya, terhadap doa-doa, tawassul dan istighosah, dengan dipertentangkan dengan ayat-ayat Al-Quran, adalah berakar pada dua hal. Pertama, Mahrus tidak merujuk pada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar (dapat dipertanggungjawabkan) yang ditulis para huffazh, seperti, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Qurthubi, dan lain-lain. Kedua, Mahrus tidak memahami maksud ayat-ayat Al-Quran yang diajukan untuk menentang doa-doa tawassul dan istighosah. Ia tidak dapat meletakkan ayat-ayat Al-Quran pada tempat yang sebenarnya (hal. 59-60).

Selain itu, Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal dia tidak pernah tercatat sebagai anggota dan aktivis NU, apalagi tokoh atau kiai NU, sebagaimana keterangan dari Pengurus Ranting NU Sidomukti, Kebomas, Gresik—tempat kelahirannya. Juga, keterangan dari pengurus Majelis Wakil Cabang NU Waru, Sidoarjo—tempat Mahrus saat ini tinggal.

Dalam bukunya, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir", Mahrus telah menyinggung dan melakukan pelecehan terhadap kaum muslimin, khususnya warga NU. Karena ia mau merubah, bahkan melarang amaliah yang sudah menjadi tradisi kalangan pesantren dan warga NU.

Buku ini sangat penting untuk dimiliki dan dibaca kaum muslimin, warga NU pada umumnya. Agar umat Islam, warga NU, hati-hati dan tidak gampang terpengaruh tulisan-tulisan yang saat ini sering menyudutkan terhadap amaliah yang sudah menjadi kebijakan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam, khususnya bagi warga NU.


Read More......

Mbah Muchith Berbincang NU dan Negara


Mbah Muchith Berbincang NU dan Negara

Judul Buku: Menjadi NU, Menjadi Indonesia (Pemikiran KH Abdul Muchith Muzadi)
Penulis: Ayu Sutarto
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: II, Januari 2007
Tebal: xv + 119 Halaman

Tak lama setelah terbit, buku berjudul Berjuang Sampai Akhir; Kisah Seorang Mbah Muchith (2006), kini terbit buku Menjadi NU, Menjadi Negara, Pemikiran KH Abdul Muchith Muzadi, akrabnya biasa disapa Mbah Muchith.

Buku ini berbeda dengan yang sebelumnya. Kalau buku Berjuang Sampai Akhir; Kisah Seorang Mbah Muchith, isinya banyak mendiskripsikan biografi Mbah Muchith, sejak masa remaja, pendidikan, pengabdian di masyarakat, organisasi, sampai bagaimana membina kehidupan dalam rumah tangga (keluarga).

Buku karya Ayu Sutarto ini, isinya lebih pada pemikiran-pemikiran Mbah Muchith tentang ke-NU-an. Misalnya, NU dan Politik, NU dan Muhammadiyah, NU dan Pesantren, NU dan Konflik Internal, NU dan Kiai Khos, sampai bagaimana menjadi NU dan Menjadi Indonesia. Semua, beberapa poin pembahasan di atas dijelaskan secara rinci dibagi dalam beberapa bab/sub bahasan masing-masing.

Lama mengabdikan dirinya di NU, Mbah Muchith berusaha menyelamatkan dan menjaga jam'iyah diniyah ijtima'iyah (NU) ini tidak dibawa untuk kepentingan pribadi secara politis. Jadi, tak heran jika Mbah Muchith sering menjadi sasaran anak-anak muda, wartawan untuk berbicara masalah perjalanan dan perjungan NU serta pengalaman dirinya di NU.

Selain itu, seringkali dijadikan obyek penulisan, bahkan di beberapa buku, mengandalkan Mbah Muchith sebagai narasumber utamanya. Hal semacam inilah yang menunjukkan bahwa Mbah Muchith hingga kini adalah sosok kiai ‘layak jual’.

Kiranya tidak berlebihan jika penulis memberi julukan pada sosok Mbah Muchith sebagai penulis, pencatat, sejarawan atau lebih pasnya disebut sebagai pelaku sejarah NU. Bahkan, bisa dibilang ia adalah politisi ulung, karena pengalamannya sejak dulu di organisasi politik.

NU dan Negara
Melihat NU ke belakang, pasti akan membuat orang merasa salut atas sumbangsih yang telag diberikannya pada bangsa Indonesia. Betapa tidak? KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim dengan Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI)-nya, memberikan dukungan kepada Gabungan Politik Indonesia (Gapi) dalam aksi menuntut "Indonesia Berparlemen". Ketika itu pula, para tokoh NU turut aktif dalam Badan Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam konteks ini, tidak heran jika KH Wahid Hasyim kemudian dipilih sebagai salah satu anggota "Panitia Sembilan" yang merumuskan "Piagam Jakarta", hingga akhirnya menjadi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Dalam mempertahankan kemerdekaan, saat masih terjadi upaya perebutan kembali Indonesia oleh kolonial, NU mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam keputusan tersebut, NU memandang bahwa kemerdekaan RI harus dipertahankan. Pengaruh resolusi itu sangat terasa sehingga meletuskan peristiwa heroik: 10 November 1945 dan kemudian diperingati secar nasional menjadi Hari Pahlawan.

Lebih dari itu, keputusan spektakuler dalam Munas Alim Ulama NU (1983) dan Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Ketika itu (1984), dengan "berani", NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, mendahului organisasi masyarakat mana pun di Indonesia. Bahkan, KH Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam Pengurus Besar NU menyatakan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final dari upaya umat Islam mendirikan negara. Selanjutnya, siapa saja yang mengganggu eksistensi negara Pancasila, harus berhadapan dengan NU. Belum lagi peristiwa-peristiwa mutakhir dalam percaturan politik nasional lainnya. Sungguh, tidak kecil hal yang disumbangkan organisasi ini.

Pandangan Mbah Muchith, menjadi NU harus juga menjadi Indonesia. Keduanya (NU dan Negara) tidak bisa dipisahkan. Karena, NU lahir dan menjadi organisasi kemasyarakatan Islam terbesar, berada di Indonesia.

Menjadi NU tidak sekedar mengaku, mengklaim bahkan hanya mengantongi Kartu Anggota Nahdlatul Ulama (Kartanu). Seperti yang dipermainkan para politisi NU saat ini. Semuanya mengaku sebagai sebuah organisasi atau sarana aspirasi politik (parpol) warga NU dalam perpolitikan Indonesia. Padahal, sebelumnya tidak pernah—bahkan tidak sama sekali—berbuat atau memberikan sumbangsih apa pun pada NU.

Hal semacam itu, hingga kini yang disesalkan oleh Mbah Muchith. Sama halnya dengan orang yang mengaku Islam (‘Islam KTP’), perbuatannya tidak mencerminkan sikap, karakteristik, dan perilaku yang Islami.

Mbah Muchith: "Seorang warga NU yang baik adalah benar-benar tahu apa yang dicita-cita oleh NU. Tapi, harus mengerti juga jatidiri terhadap sosial keagamaan yang ada di Indonesia" (halaman 100).

Walau akhir-akhir ini banyak buku terbit terkait NU atau masalah yang membelit NU pada situasi dan kondisi tertentu. Tapi, terkadang belum menyentuh atau memaparkan seperti apa NU? Kenapa NU? Dan bagaimana seharusnya NU?

Buku ini menegaskan kepada pembaca agenda besar dan sesuatu yang ingin diraih NU. Serta menegaskan bahwa cita-cita NU tidak berbeda dari cita-cita Indonesia. Sehingga buku ini penting dimiliki kiai, santri, warga Nahdliyyin, akademisi, politisi NU agar mengaca dan semakin sadar bahwa memang masih banyak yang harus dibenahi dalam tubuh NU.


Read More......

Jawaban Praktis Amaliah Warga NU


Jawaban Praktis Amaliah Warga NU

Judul Buku: Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi
Penulis: KH Muhyidin Abdusshomad
Editor: Muhammad Faishol, MAg
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Juni 2008
Tebal: xii+ 121 halaman

KH Muhyidin Abdusshomad adalah sosok kiai, yang dikatatan paling produktif, khususnya di kalangan warga NU. Saat ini ada beberapa karyanya yang sudah banyak beredar di seluruh pelosok Tanah Air. Di antaranya, Fiqh Tradisionalis, Tahlil Dalam Persfektif Al-Quran dan As-Sunnah, Penuntun Qolbu: Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual, Etika Bergaul di Tengah Perubahan (Kajian Kitab Kuning), dan Hujjah NU Akidah Amaliah Tradisi.

Buku yang disebut terakhir ditulisnya sebagai sebuah tinjauan ulang dan jawaban praktis terhadap apa yang terkandung dalam prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) secara baik dan sempurna. Karena saat ini, prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja kadang kala disalahtafsirkan. Belum lagi banyaknya organisasi kemasyarakatan Islam yang semua mengaku berhaluan Aswaja. Padahal, gagasan dan pandangan mereka seringkali menyimpang dari nilai-nilai dan konsep Aswaja sendiri.

Dalam catatan sejarahnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas yang bertujuan melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Aswaja. Arti Aswaja, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, Aswaja adalah orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada Al-Quran, Al-Hadits, Al-Ijma' dan Al-Qiyas. Latar belakang tersebut, paham Aswaja tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Hadits sebagai dasar dari setiap diskursus keagamaan yang dilakukannya.

Tetapi, menurut pandangan NU, bukan berarti Aswaja dan "ber-mazhab", kita diharuskan langsung untuk memahami dan menerapkan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits, tanpa mempertimbangkan bagaimana zaman yang selalu berubah. Bagaimana cara menghukumi sesuatu yang tidak ada dalilnya yang sharih (jelas) di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Dan, masalah-masalah sosial lainnya, yang juga tidak pernah ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

Tradisi dan Budaya
Adapun salah satu ciri paling mendasar dari konsep Aswaja adalah, moderat (tawasuth). Konsep ini tidak hanya mampu menjaga para pengikut Aswaja tidak terjerumus pada perilaku keagaamaan yang ekstrim, berdakwah secara destruktif (merusak), melainkan mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan masyarakat secara proporsional.

Dalam kehidupan, tidak bisa dipisahkan dari yang namanya budaya. Karena budaya adalah, kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Menghadapi budaya atau tradisi, yang terkandung dalam ajaran Aswaja telah disebutkan dalam sebuah kaidah "al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadidil al-ashlah", yaitu mempertahankan kebaikan warisan masa lalu, mengambil hal yang baru yang lebih baik.

Dalam buku ini, KH Muhyidin Abdusshomad juga menjelaskan seputar persoalan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah). Karena saat ini, banyak ormas Islam yang mengaku pengikut Aswaja tidak paham mana yang dikatakan bid'ah atau sebaliknya. Contoh, terbitnya buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali", karya Ustad Mahrus Ali yang mengaku mantan kiai NU. Padahal, dia tidak pernah tercatat bahkan menjadi anggota NU.

Dengan demikian, ajaran dan nilai-nilai tradisi dalam Aswaja ternyata tidak ada yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam. Meskipun juga, terkadang kelompok lain memandang bahwa selametan atau tingkepan yang kata orang Madura "peret kandung" (seorang wanita tengah mengandung 7 bulan sebagai bid'ah). Nah, tradisi ini, harus disikapi secara proporsional, arif, dan bijaksana, khususnya bagi para pengikut Aswaja. Karena, dalam selametan dan tradisi-tardisi lainnya yang dianggap bid'ah masih ada nilai-nilai baiknya dan mengandung filosofis yang tinggi. Tradisi tersebut tidak harus dihilangkan dan dilarang.

Semoga gagasan dan pandangan KH Muhyidin Abdusshomad dalam buku ini mampu menghadirkan Islam yang toleran, damai, dan menghormati setiap hak manusia. Bukan Islam yang berperilaku seperti "preman berjubah" yang berteriak-teriak "Allahu Akbar" sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang yang tujuannya menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat.

Praktis, buku ini penting untuk dibaca dan dimiliki umat Islam, khususnya warga NU. Karena buku ini menjadi bahan pegangan untuk memantapkan bagaimana warga NU mampu melestarikan dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Aswaja dengan baik dan sempurna.


Read More......

Memaknai Ulang NU


Memaknai Ulang Peran NU
Judul Buku: Sarung & Demokrasi, dari NU untuk Peradaban ke-Indonesia-an
Penulis: Abu Dzarrin Al-Hamidy, dkk
Pengantar: KH Miftachul Akhyar
Penerbit: Khalista
Cetakan: Juli 2008
Tebal: xiv+288hlm; 14,5 x 21cm

Peran Nahdlatul Ulama (NU) bagi perjalanan peradaban ke-Indonesia-an tidak bisa dipandang sebelah mata. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih diletakkan dalam rangka menunjukkan bahwa agama (Islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang memang menjadi “naluri” masing-masing komunitas. Itu sebabnya, NU selalu merawat kebudayaan (lokal) sebagai alat untuk mengembangkan tradisi keagamaan yang berpahamkan Ahlussunnah wal Jamaah. Wajah agama (Islam) yang ditawarkan NU adalah agama yang berwajahkan ke-Indonesia-an. Sikap akomodatif ini tidaklah diambil berdasar kalkulasi opurtunistik, melainkan eksternalisasi paradigma keagamaan yang terbuka dan tidak memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang hitam-putih.
Peradaban ke-Indonesia-an yang kemudian hendak dibentuk NU adalah peradaban kebangsaan kebebasan yang dilandasi moral keagaman (Islam). Nilai-nilai Islam memberikan inspirasi sekaligus menggerakkan kehidupan kebangsaan indonesia, meski hal tersebut tidak diletakkan untuk mendirikan negara agama, melainkan negara beragama. NU sadar bahwa realitas empirik kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang plural, yakni yang dibangun dengan mensinergikan secara adil suku bangsa yang berbeda dan agama yang berlainan, bahkan paham agama yang yang lain pula, baik ekonomi, hukum, dan sebagainya.

Buku hasil lomba karya tulis ilmiyah (LKTI) yang diselenggarakan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini banyak menjelaskan NU dan ke-Islam-an, politik, pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan. Ada yang menarik untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam mengaktualisasikan peranan NU sebagai organisasai sosial keagamaaan, sehingga tidak hanya menjadi macan podium, tapi juga bermanfaat bagi warganya, terutama yang berada di pinggiran dan terjepit kapitalisme dan neokolonialisasi.

Tulisan M. Suhaidi R.B. berjudul NU dan Transformasi Keaswajaan Revitalisasi Gerakan Pembebasan Sosial NU dalam Memberdayakan Umat Secara Kaffah, misal, mencoba menghadirkan sebuah kritik tentang dinamika (politik) NU yang terlalu dominan. Akibat dominanasi politik tersebut, peran serta NU dalam berbagai bidang mengalami pasang surut dan cenderung acuh tak acuh terhadap realitas yang dihadapi umat. Stadi kasus pada mayarakat Madura yang menanam tembakau dan petani garam adalah warga Nahdliyin, selalu mengalami nasib tidak beruntung. Tembakau yang dianggap daun emas dan merupakan penghidupan tersendiri, ternyata tidak seindah namanya. Rata-rata harganya antara 5000-8000 per kilogram. Harga sedemikian murah, sulit kiranya petani tembakau untuk mencicipi hasil manis, sebab modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan hasil dan harga tembakau, cenderung dipermainkan pemilik modal. (hal 7)

NU sebagai institusi tempat mengadu berbagai persoalan yang hadapi dan tempat bernaung warganya, menurut Koordinator Forum Studi Agama dan Demokrasi (ForSAD) ini, harus melakukan langkah-langkah amaliah (praksis) yang nyata, dan tidak hanya kata-kata (qaul). Dan menjadikan pendiri NU contoh serta teladan dalam merespons realitas yang dihadapi masyarakat dengan senantiasa merasakan penderitaan warganya. Sehingga prinsip pokok mabadi khairul ummah dan amar ma’ruf nafi munkar, yang betul-betul membumi.

Dalam mempertegas gambaran di atas, sekaligus menjadikan evaluasi ulang terhadap peran NU pada warganya, ada beberapa pilar yang bisa dijadikan komitmen untuk memasyarakatkan dan mempertegas politik kebangsaan NU, seperti yang ditulis Fathor Rahman Jm, dengan judul Revitalisasi Gerakan Politik Kebangsaan NU untuk Pemberdayaan Bangsa. Di antaranya pesantren, semangat politik NU, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar, Tasywirul Afkar, dan basis ajaran tasawuf NU, bisa menjadi instrumen untuk mewujudkan komitmen dan pembelaan terhadap warganya. Misal, di antara salah satu dari pilar-pilar di atas, diberdayakan atau dijadikan sebagai sumber kekuatan terutama dalam menopang ekonomi dan memperbaiki kehidupan umat.

Pesantren yang merupakan pusat pendidikan tertua di Indonesia dengan keunikan dan kekhasan tersendiri, di dalamnya terdapat interaksi di antara orang-orang, pascakemerdekaaan menjadi pusat pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini, pesantren Sidogiri bisa menjadi cerminan. Dengan memanfaatkan alumni dari berbagi daerah untuk jaringan ekonomi dalam mendirikan kopersai simpan pinjam, BPRS, dan baitul mal wattanwil. Jika semua pesantren yang ada di Indonesia mengikuti langkah Pesantren Sidogiri, maka komunitas NU dan yang berada di berbagai daerah pelosok negeri, bisa jadi masyarakat yang seperti kasus tembakau di Madura di atas, cukup diselesaikan oleh pesantren. Serta tidak dibayangi neokolonialisme lagi. Sedangkan NU sendiri membangun dan memberikan jaringan disertai penambahan modal bagi pesantren dalam mengelola ekonomi kerakyatan atau NU menghidupkan Nahdlatul Tujjar yang digagas KH Wahab Chasbullah dengan Tujuan memperkuat modal pedagang dan pertanian warga NU. Hal ini, sesuai statuten dari perkumpulan NU di Surabaya pada 1930 pasal 3 mengenai usaha-usaha yang mesti dilakukan NU, item f berbunyi: ”Memperhatikan Perekonomian Umat Islam”. (hal 68-75)

Buku setebal 288 halaman ini, sangat penting dibaca akademisi, politisi, peneliti, pemerhati, dan warga nahdiyin, untuk memberikan wawasan baru tentang ke-NU-an dan langkah apa saja yang menjadi pekerjaan rumah NU untuk melangkah lebih maju. Namun, sayang bukan buku utuh yang ditulis satu tim atau satu orang (perorangan), akan tetapi hasil LKTI yang dimungkinkan terdapat tumpang tindihnya gagasan.

Dari gasasan di atas, adalah upaya penyegaran memori dan memberikan motivasi bagi elit NU dari tingkat pengurus besar sampai pengurus ranting untuk selalu berkomitmen dan ikhlas dalam mengerakkan NU sesuai semangat khittah, agar benar-benar membela kepentingan umat secara praksis dan tidak lagi terjebak politik praktis.

Read More......

Profilku

Aku adalah pria yang dilahirkan di kota pensiunan Purwakarta pada tanggal 08 Februari 1985. Sejak kecil aku selalu patuh sama orang tua. Aku rasa tak pernah sekalipun aku membantah keinginan orang tuaku. Yach....mungkin itulah yang menjadikan hidupku selalu mudah. Katanya sich, ridho Alloh Swt bergantung pada ridho orang tua.
Kala kecilku, aku sekolah di SD SMP di daerah tempat aku dilahirkan. Selain itu, aku aktif mengaji sama kakek di pesantren. Setelah lulus SMP, aku merasa tidak puas dengan pengetahuan yang kumiliki selama ini. Aku merantau di Jawa Timur, tepatnya di kota Kediri. Di sanalah aku belajar segala hal untuk bekal hidup.
Di tengah-tengah aku menimba ilmu di Kediri, Fadhol Tuhan memberiku kesempatan untuk ikut andil dalam memasyarakatkan buku-buku keislaman. Semoga ini menjadi amal kebajikan yang diterima oleh Allah Swt Amien. Berkibarlah Islamku !

Bila anda berminat dengan buku-buku keislaman, pesan segera di:

Nama : Agus Aliyuddin
Alamat : Sindang Panon 15/05 Bojong Purwakarta
No. Rek. : 51811260 BNI Syariah Kediri Jawa Timur
a/n Agus Aliyuddin
Hp : 081946926709

Atau hubungi agen kami
Untuk daerah Ciamis-Tasikmalaya-Garut di:

Ihsan Abdillah
PP. Bahrul Ulum Asrama al-Mursyidi
kel. Awipari kec. Cibeureum Kota Tasikmalaya
Hp. 081220540978

Untuk daerah Purwakarta-Bekasi di:

Enung Nurjannah
Ruko Thamrin Blok d/24 Jln. MH Thamrin Lippo Cikarang Bekasi 17750
Hp. 081909595960

Untuk daerah Jakarta di:

Idris Mas'udi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hp. 085224079966




Read More......